Rabu, 27 Januari 2016

CERITA SEJARAH SIMPANG RANDU SEPUTIH BANYAK

Pada tahun 1960, Kusno memasuki Desa Sido Binangun daerah transmigarasi program dari pemerintah. Kusno berasal dari pulau Jawa bersama dengan masyarakat yang lain yang mengikuti program transmigarasi. Dengan bertempat tinggal di sebuah mes (kontrakan) di wilayah sekitar terlebih dahulu.


Kemudian pada tahun 1962 penduduk sekitar membuat perkampungan di sertai dengan jalan kampung yang berukuran lebar 4 meter. Pada saat itu sudah ada jalan yang menghubungkan Kota Metro dan Gaya Baru. Masyarakat membuat jalan baru yang menghubungkan jalan kampung dan Menggala. Pada saat pembuatan jalan tersebut sangat susah untuk mencari bambu yang akan di jadikan sebagai gapura pembatas kampung. Untuk menyiasati hal tersebut, masyarakat sekitar tidak kehabisan akal, mereka menancapkan 2 batang randu sebagai gapura.
Karena kecintaan masyarakat akan HUT RI, maka gapura batang randu ini kemudian menjadi pusat perhatian masyarakat dijadikan. Setiap menjelang tanggal 17 Agustus warga desa  bergotong royong membersihkan jalan, dan membuat pagar mini dan menghiasi batang pohon randu agar terlihat indah pada hari kemenangan.
Pada tahun 1980 Kusno menjabat sebagai kepala desa, dan kemajuan masyarakat sangat berkembang pada masa kepemimpinannya. Sehingga pada tahun 1981 Desa Sido Binangun di nobatkan sebagai desa teladan se Provinsi Lampung.
Pada tahun 1987 pemerintah merencanakan pembuatan Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera. Sebagai Kepala Desa saat itu, Kusno mendapat  amanat dari Pemerintah Daerah setempat untuk berpartisipasi dalam perencanaan. Kusno kemudian memberikan usulan kepada Dinas PU untuk pembuatan jalan Lintas Timur dengan jalur dari Way Jepara, Seputih Banyak, dan berakhir di Way Tenong  Menggala.
Pada tahun 1988 rencana pengerjaan jalan negara tersebut baru terealisasi.  Perempatan yang dahulu di tanami pohon randu oleh masyarakat desa Sido Binangun tergusur oleh adanya pembangunan Jalan Lintas Timur. Menurut Kusno, pada saat penggusuran pohon randu dipersimpangan jalan tersebut sudah berdiameter 50 cm. Dan sejak itulah pohon randu yang dulu ditanam masryarakat hanya menyisakan nama saja.
Karena pohon randu tersebut berada di persimpangan jalan, masyarakat sangat familiar menyebutnya sebagai Simpang Randu. Makin hari makin banyak orang yang mengenal dan menyebut nama Simpang Randu ini. Ternyata nama ini makin dikenal masyarakat luas, seiring pembangunan jalan Lintas Timur hingga  resmi di buka dan dapat di gunakan sebagai prasarana transportasi pada tahun 2005.

Semenjak Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera mulai digunakan masyarakat, Simpang Randu bergeliat menjadi sebuah kawasan usaha. Tidak hanya masyarakat setempat yang kemudian memanfaatkan prospek Simpang Randu dengan membuka beragam usaha di seputar persimpangan jalan, masyarakat dari luar desa pun berdatangan.  Masyarakat dari luar desa Sido Binangun ini datang dengan beragam tujuan. Ada yang kemudian tinggal disekitar persimpangan, ada juga yang kemudian membuka usaha.
Hingga saat ini sudah ratusan tempat usaha berdiri diseputar simpang randu, mulai dari warung makan, penyedia kebutuhan sehari-hari, dealer motor, hingga minimarket. Makin hari Simpang Randu makin menampakan sosoknya sebagai sebuah wilayah yang berkembang dan modern. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya usaha penyedia barang dan jasa dari waktu-ke waktu.
Apa Kata Mereka tentang Simpang Randu?
Baidowi salah satu warga pendatang dari Dusun Gading tepatnya Desa Silopuro, Kec. Naulingi, Kab. Blitar Jawa Timur yang masuk ke Desa Setia Bhakti, tetangga Desa Sido Binangun, mengungkapkan kekagumannya karena desa yang dahulu di masuki bersama keluarganya kini berkembang pesat dan menjadi pusat perhatian masyarakat luas.
Baidowi sejak 1989 membuka rumah makan di Simpang Randu dan masih dijalankan sampai saat ini. Baidowi mengaku sangat mudah mendapatkan rezeki dari usahanya itu, ketika di Simpang Randu belum banyak berdiri warung makan. Saat ini menurutnya disetiap sudut jalan di seputar Simpang Randu telah berdiri puluhan warung makan seperti yang ia kelola. Meskipun saat ini saingan Baidowi makin hari makin bertambah, Dowi tetap sabar, dan semangat untuk terus mengelola usahanya. Ia percaya bahwa rezeki telah diatur sebaik mungkin oleh Tuhan.
Selain Dowi,  ada juga beberapa orang yang berasal dari luar wilayah Simpang Randu yang mencari nafkah di persimpangan ini. Sebut saja Partiah warga yang  berasal dari Kota Gajah ini sudah beberapa tahun menjalani profesi sebagai pedagang asongan. Ia mengaku berjualan di Simpang Randu lebih menguntungkan di bandingkan berjualan di lampu merah yang Kota Gajah.
Ia dan kawan-kawan seprofesi berangkat dari Kota Gajah ke Simpang Randu menggunakan angkutan umum dan harus merogoh kocek sebesar Rp. 10.000,- /harinya. Setiap hari ia berangkat pukul 06.00 wib, kemudian berjualan hingga pukul 16.30 WIB.  Partiah mengaku bisa mendapatkan penghasilkan sebesar Rp. 25.000,- 35.000,-/hari. 
Bagi Partiah, Simpang Randu sudah seperti sawah ladang, tempat memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Agen penumpangpun turut mewarnai hiruk-pikuk dan sibuknya aktifitas masyarakat di wilayah tempat sekitar.  
Berbeda dengan Partiyah, M. Sayudi yang berprofesi sebagai agen penumpang kendaraan. Ia mengaku setiap hari ia bisa mengantongi penghasilan minimal Rp 30.000,- dari jasa menghatarkan penumpang.  Profesi ini sudah Sayudi jalani sejak 9 tahun lalu. Ia bersyukur karena hasil dari profesinya  ini, bisa untuk menghidupi anak, istri, menantu dan cucunya.
Baidowi, Patriyah dan M. Suyudi adalah sebagian contoh dari puluhan bahkan ratusan orang lain yang menjadikan Simpang Randu sebagai tempat menyandarkan harapan melalui usaha yang mereka kelola disana.

Simpang Randu bukan lagi persimpangan dengan gapura pohon randu yang sering di hias masyarakat Sido Binangun menjelang HUT RI seperti puluhan tahun silam.  Kini Simpang Randu telah mampu “bersolek” dalam kemajuan dan telah menjadi  “arena perlombaan” usaha yang menuntut setiap orang untuk tetap memiliki semangat usaha. (Fjr/Nr)

4 komentar: